Jatuh bangun mengembangkan usaha sudah dialami berkali-kali oleh Tri Astuti (32). Ia sudah mencoba berbagai usaha, mulai dari makanan, percetakan, pulsa, sampai warnet. Namun karena semua dilakoninya dengan hanya mengandalkan pengalaman, risiko jatuh pada kondisi yang sama terus berulang. Sampai akhirnya, ia bertemu seorang pembimbing yang mengarahkannya pada usaha yang “barokah” tanpa bergantung pada pinjaman bank. Kini, Tri Astuti kewalahan memenuhi permintaan pasar yang terus berdatangan.
Tri Astuti (32) sebetulnya lulusan Farmasi ITB. Namun naluri usahanya telah muncul sejak ia lulus. Setamat kuliah, Tri sudah menjadi bagian dari tim suatu produk bermerek yang dikelola secara multilevel marketing. Lepas dari itu, ia juga mencoba menjadi broker perdagangan properti.
Namun kesuksesan dan kepuasaan ternyata hanya sepintas. Tidak pernah menetap lama. “Lagi pula sering kali saya merasa bekerja pada orang lain sehingga kalau berhasil pun sepertinya mendukung keberhasilan orang lain saja. Bukan karena milik sendiri,” ujarnya saat ditemui “PR” di rumah produksinya di kawasan Cijawura Bandung.
Sejak itu, Tri mulai menginginkan usaha sendiri. Awalnya, ia membeli franchise burger dan menjalaninya dengan sukses. Dari pertama kali hanya mempunyai satu stan, bertambah beberapa stan lain. Pasarnya banyak, permintaan terus mengalir, dan sukseslah Tri dengan usaha makanan ini. Namun karena rasa percaya diri terlalu tinggi tanpa diimbangi perhitungan matang, usaha yang maju pesat itu ternyata pesat pula ambruknya.
“Waktu itu pasar sangat bagus, permintaan banyak. Dari semula satu stan menjadi tiga. Tidak puas sampai di situ, saya langsung buka empat sampai lima belas stan secara bersamaan. Dapat dibayangkan, dengan perasaan sudah merasa berhasil, ternyata tidak terkelola dengan baik. Sampai akhirnya usaha itu jatuh ambruk secepat pada saat suksesnya,” tuturnya.
Padahal, saat itu Tri sedang terikat pinjaman bank. Meskipun usaha roti ala Amerika itu jatuh, Tri mencoba lagi usaha di bidang lain, yakni percetakan, pulsa, sampai warnet. Namun lagi-lagi karena Tri hanya belajar dari pengalaman, ketiga usahanya itu pun jatuh. Belakangan ia menyadari, kesalahan mendasar dari bangkrutnya semua usaha itu karena investasi pada alat. Seharusnya, jika alat masih memadai, tidak perlu investasi di situ.
“Akhirnya produksi tidak jalan karena dana terkonsentrasi di alat. Padahal, produksi harusnya berjalan terus untuk membiayai pinjaman ke bank. Dengan utang yang terus membesar, saya menyadari semua proses itu begitu mahalnya kalau hanya mengandalkan pengalaman tanpa bimbingan. Kemungkinan jatuh ke lubang yang sama sangat mungkin terjadi,” ujarnya.
Dengan kondisi traumatis seperti itu, Tri mendapat simpati dari sahabatnya. Ia menawarkan Tri untuk mencoba usaha baru tanpa pinjaman bank. Karena ajakan teman itu, Tri mulai menyusun strategi baru usahanya. “Saya jadi ingat, pada zaman Rasulullah saw. saja, usaha itu tidak berkembang karena bank, tetapi karena sistem bagi hasil yang disesuaikan syariat Islam,” ujarnya.
Sejak itu, Tri mengikuti kelas bisnis membangun bisnis tanpa riba. Tri mendapat arahan langsung dari Ir. H. Heppy Trenggono, M.Kom. tentang bagaimana membangun bisnis profitable tanpa riba. Tri juga mulai aktif di Indonesia Islamic Business Forum (IIBF), komunitas yang beranggotakan pengusaha dan calon pengusaha dalam berbagi pengalaman dan pendampingan usaha. Dari komunitas ini pula, Tri menemukan banyak hal baru tentang kiat-kiat usaha.
“Mata saya terbuka lebar dan menyadari betapa mahalnya pertaruhan usaha dengan hanya mengandalkan pengalaman,” tuturnya.
Modal Nol
Tri memulai usaha barunya dengan modal nol. Waktu itu, ia mencoba membuat beberapa desain baju, me-nggambarnya, menjahit, dan memajangnya di internet. Kebetulan, Muhammad Nurul Ihsan (32), suami Tri, paham betul bagaimana perjuangan istrinya. Ia dengan bersemangat merancangkan situs web untuk usaha baru milik Tri.
Tri memulai usaha barunya dengan modal nol. Waktu itu, ia mencoba membuat beberapa desain baju, me-nggambarnya, menjahit, dan memajangnya di internet. Kebetulan, Muhammad Nurul Ihsan (32), suami Tri, paham betul bagaimana perjuangan istrinya. Ia dengan bersemangat merancangkan situs web untuk usaha baru milik Tri.
“Waktu itu saya hanya membuat enam rancangan baju, tetapi responsnya sangat luar biasa. Lagi-lagi berkat dukungan dari suami, orang tua, dan komunitas di IIBF, Tri mulai menata kembali usahanya dari nol. Caranya, setiap permintaan yang datang disyaratkan harus mengeluarkan uang muka (panjar) dari setengah barang yang diambil.
Hal itu ia lakukan agar bisa membayar bahan-bahan dari para pemasok. Apalagi, kata Tri, pemasok kaus sebagai bahan produksinya selalu minta dibayar di muka. “Dengan mengandalkan panjar dari para distributor itulah, saya bisa membayar para suplier. Padahal modal saya sama sekali nol,” ujarnya.
Namun, hasilnya sungguh luar biasa. Hanya dalam tempo delapan bulan, Tri sudah melipatgandakan produksinya dari semula enam baju, sekarang sudah mencapai 2.000-3.000 baju per bulan. Permintaan itu berdatangan dari berbagai kota di Indonesia. Bahkan, Tri mengaku kewalahan karena sering kali permintaan lebih banyak dari stok barang yang tersedia.
Apalagi Tri juga masih mengandalkan sistem maklun. Sebab untuk pengadaan alat dan karyawan yang menetap, risikonya lebih besar dibandingkan dengan maklun. “Asal kualitas jahitnya sama, rapi, saya masih mengandalkan maklun sampai sekarang. Selain lebih terkontrol, bisa menghidupkan masyarakat juga yang membantu maklun untuk saya,” ujarnya.
Tri mendasari usahanya dengan tekad dakwah. Dengan demikian, penamaan produknya pun betul-betul diniatkan untuk memuliakan Islam. Tri memberi nama produknya dengan nama “Mutif”, artinya Muslimah inspiratif. “Saya sering teringat dan diingatkan oleh Ustaz Samsul Arifin dengan gerakan hidup berkahnya. Makanya karena usaha saya pun ingin berkah, saya memberinya Mutif,” ujarnya.
Tri yang merancang semua produksinya, mulai dari pemilihan bahan, komposisi warna, sampai ke pernak-pernik yang menjadi hiasan baju-bajunya. Dengan harapan, remaja Muslim sebagai sasaran pasar dapat berbusana Muslim lebih santun dan terhormat. “Saya mengambil pasar remaja dengan latar ekonomi menengah. Alasannya, selain ingin membantu mereka berbusana sesuai dengan syariah, karena kapasitas produksi saya juga masih sangat terbatas. Kalau untuk kalangan bawah, permintaannya kan pasti lebih massal dan saya merasa tidak akan sanggup,” katanya mengakui.
Hati-hati
Karyawan Tri yang bekerja rutin di rumah produksinya ada sekitar delapan orang. Sementara di luaran juga banyak para pekerja yang maklun kepada Tri. Kendati begitu, Tri mengaku, sekarang lebih berhati-hati. Apalagi sang guru Ir. H. Heppy Trenggono, M.Si. selalu mengingatkan, “Jangan ingin looking success, tetapi harus being success”. Begitu Tri mengingatkan dirinya.
Karyawan Tri yang bekerja rutin di rumah produksinya ada sekitar delapan orang. Sementara di luaran juga banyak para pekerja yang maklun kepada Tri. Kendati begitu, Tri mengaku, sekarang lebih berhati-hati. Apalagi sang guru Ir. H. Heppy Trenggono, M.Si. selalu mengingatkan, “Jangan ingin looking success, tetapi harus being success”. Begitu Tri mengingatkan dirinya.
Tri juga selalu mengonsultasikan setiap langkah yang akan diambilnya kepada sang guru. Apalagi bila langkah itu akan berpengaruh terhadap keseluruhan usahanya. Dengan demikian, kalaupun ada risiko yang muncul, tidak terlalu fatal seperti dulu. Contohnya dalam memenuhi permintaan. Kalau dulu, kata Tri, ia akan segera menambah alat agar jumlah produksi lebih banyak dan pasar terpenuhi. Namun sekarang, berkat saran dan arahan IIBF, ia justru mengambil langkah yang lebih aman dan terjangkau tanpa harus terseret pinjaman bank.
“Godaan usaha itu ketika permintaan banyak dan tidak terpenuhi, inginnya tambah produksi. Jalan untuk tambah produksi adalah penambahan modal dan biasanya itu dari pinjaman ke bank. Sekarang saya tidak lagi,” ujarnya.
Tri betul-betul ingin menjalankan usahanya berkah. Tidak lagi melesat secepat kilat, tetapi alon-alon asal kelakon. Terbukti, permintaan untuk menjadi distribtutor terus mengalir dari berbagai daerah. Pihak perbankan juga banyak yang menawari pinjaman. Namun Tri selalu ingat, yang penting maksimalkan segala yang sudah ada. Kalaupun kelak ingin investasi, tidak terjebak lagi pada jerat utang seperti dulu.
Dakwah dari Rumah
Tri menikah dengan Muhammad Nurul Ihsan (32) pada 2005 lalu. Ia dikaruniai satu orang anak, Alief Izzaddin (3). Kendati begitu, rumahnya selalu ramai karena Tri menjalankan usahanya di rumah. Begitu juga suaminya, ia membuka klinik pengobatan alternatif bersebelahan dengan ruang pamer baju-baju Tri. Dengan demikian, tak aneh bila rumah merangkap kantor ini selalu ramai sejak pukul 08.00 samapai dengan pukul 17.00 WIB.
“Sejak dulu, saya bercita-cita ingin mengembangkan usaha dakwah di rumah. Alhamdulillah, berkat bantuan semua pihak, saya bisa seperti sekarang,” ujarnya.
Tri menikah dengan Muhammad Nurul Ihsan (32) pada 2005 lalu. Ia dikaruniai satu orang anak, Alief Izzaddin (3). Kendati begitu, rumahnya selalu ramai karena Tri menjalankan usahanya di rumah. Begitu juga suaminya, ia membuka klinik pengobatan alternatif bersebelahan dengan ruang pamer baju-baju Tri. Dengan demikian, tak aneh bila rumah merangkap kantor ini selalu ramai sejak pukul 08.00 samapai dengan pukul 17.00 WIB.
“Sejak dulu, saya bercita-cita ingin mengembangkan usaha dakwah di rumah. Alhamdulillah, berkat bantuan semua pihak, saya bisa seperti sekarang,” ujarnya.
Tri menyarankan kepada kaum perempuan yang akan atau sedang menjalankan usaha, sebaiknya ingat bahwa “mentor clarity is power” (kejelasan itu kekuatan). “Kita butuh guru atau mentor untuk belajar. Kalau belajar langsung dari pengalaman, mahal. Risikonya terlalu besar. Kenapa tidak belajar langsung kepada pelakunya. Mereka bisa melihat langkah-langkah yang diambil lebih objektif dan prosfektif,” ujarnya. (Eriyanti/”PR”)***
Oleh Ir. H. Heppy Trenggono, M.Kom.
Hari ini, jumat 23 April 2010, rencana untuk bertemu dengan William Shaker sahabat saya di New York saya tunda, jam 7.00 pagi ini saya dengan istri, kakak dan ponakan bergegas menuju Renaisance Hotel New Jersey untuk bertemu Pak Hasan Toha Putra yang kebetulan sedang berada di Amerika Serikat bersama dengan rombongannya. Pak Hasan adalah dewan Pembina IIBF Jawa Tengah, bisa dikatakan dari tangan beliaulah kelahiran IIBF segera diterima secara luas oleh tokoh-tokoh dan pengusaha senior di Jawa Tengah.
William Shakers adalah pengusaha, imigran, pekerja keras, sekaligus anak muda yang inspiring. Dia hidup di New York bersama dengan ibunya yang sudah tua, tidak memiliki saudara satupun kecuali ibunya itu.
Berbeda dengan banyak pengusaha yang saya kenal, William Shaker memiliki usaha yang unik, berjualan kacamata “tiruan” secara online, istilah yang dia pakai adalah “replica sunglasses” sebagai kata ganti dari “imitasi”. Bekerja sendirian dan hanya dibantu dengan seorang karyawan yang dia sebut sebagai “my runner”. Will hanya berjualan secara online, melalui website, tidak memiliki toko dimanapun kecuali di internet.
Bagi saya, yang sangat menarik adalah keberhasilannya membangun bisnis sederhana yang benar-benar bisa menghasilkan uang! Bisnis yang dia bangun telah mengantarkan dia memiliki kehidupan yang mewah, “In New York, You are my guest” begitulah dia selalu mengingatkan saya sambil berjanji akan mengantarkan saya kemanapun di New York dengan mobil mewahnya dan mentraktir selama saya di New York, sebuah kualitas kehidupan yang sangat jarang ditemukan di New York, rata-rata orang di New York bekerja keras untuk hidupnya.
Will sangat concern dengan biaya investasi, untuk membangun websitenya dia mengaku tidak melakukannya sendiri tetapi menggunakan jasa web developer di India yang dia temukan via internet. Memerlukan kerja keras dan kesabaran hingga dia menemukan barang-barang imitasi terbaik dan termurah, dia ceritakan hampir seluruh barang dagangannya berasal dari luar negeri. Bisnisnya beroperasi dengan biaya yang super efisien, dia selalu mengontrol dari belahan dunia manapun dia berada, dan setiap hari ada seorang karyawan yang stand by untuk memfollow up setiap transaksi yang masuk. Dalam beberapa tahun ini Will telah mendapatkan lebih dari 4,000 customer yang 80% diantara mereka adalah pembeli wholesales, pembeli yang membeli secara rutin kepada Will melalui websitenya www.impostercity.com, www.voguewear.com, www.replicawholeshalessunglasses.com, www.nywholesalessunglasses.com. Pelajaran yang kita tangkap dari seorang William Shaker adalah bahwa “keberhasilan bisnis bukanlah tentang apa yang kita lakukan, tetapi tentang bagaimana kita melakukannya”. Saya yakin banyak orang yang bisa memulai bisnis seperti yang dia lakukan, tetapi berapa banyak orang yang bisa membangun bisnisnya hingga benar-benar menghasilkan uang? William Shaker tidak hanya sekedar membuat website dan menunggu order, dia bekerja keras untuk membuat bagaimana caranya agar bisnisnya berjalan dan menghasilkan uang.
Dia melakukan berbagai strategi tentang bagaimana agar orang bisa menemukan websitenya dan tertarik untuk membeli, dia mencari barang-arang terbaik dari seluruh penjuru dunia, dia memastikan bahwa orang yang membeli dari dia mendapatkan harga terbaik dan mendapatkan untung ketika menjual lagi secara retail, dia memastikan setiap order barangnya harus ada dan dikirim dengan cepat, dan memastikan setiap orang yang pernah membeli akan kembali membeli. Pada pertemuan yang terakhir dengan Will tahun lalu, dia mentargetkan untuk menelpon semua pelanggan yang tidak kembali lagi, dan akan menanyakan kepada pelanggannya “Apa yang harus saya lakukan untuk membuat anda membeli kembali kepada saya?” Itulah William Shaker, dan pagi ini Alhamdulillah senang sekali saya bisa bertemu dengan pak Hasan di New Jersey.
Berbicara tentang memulai bisnis, banyak orang langsung terhenti langkahnya karena merasa tidak memiliki modal untuk memulainya. “Saya sebenarnya ingin menjadi pebisnis, tapi saya tidak punya modal” begitulah kira-kira komentar dari rata-rata para pemula yang saya jumpai, dan modal yang dibicarakan disini maksudnya adalah uang cash yang dimiliki untuk memulai bisnis.
Dalam konteks yang lain, sebuah angka statistik membuktikan bahwa 50% bisnis tutup sebelum ulang tahunnya yang kedua, 80% tutup sebelum ulang tahun yang kelima. Dan yang sangat menarik untuk dicermati, ternyata salah satu sebab mengapa mereka gulung tikar dalam usia yang sangat muda adalah “Easy Money”, uang dan kredit yang terlalu mudah didapat. Kok bisa begitu?
Ternyata easy money membuat pebisnis menjadi bodoh. Dengan uang dan kredit yang mudah didapat mereka memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menutupi kesalahan-kesalahan dalam berbisnis. Contohnya ketika sales tidak mencapai target, ketika piutang tidak tertagih, ketika team tidak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu, ketika pendapatan tidak dapat menutupi biaya yang harus dikeluarkan, maka dengan easy money dan easy credit anda akan merasa baik-baik saja. Ini karena selalu dapat menutup kekurangan cash flow tanpa melakukan perbaikan kinerja, sehingga rendahnya sales tidak mempengaruhi psikologi perusahaan, dan team anda seolah-olah mendapatkan pesan “mencapai target sales tidak penting di perusahaan ini”.
Banyak entrepreneur berlari dari satu masalah ke masalah yang lebih dalam karena selalu menutupi kesalahannya dalam berbisnis tidak dengan cara melakukan perbaikan fundamental dalam melakukan bisnis. Ketika bisnis mengalami kesulitan keuangan yang disebabkan oleh kinerja yang payah yang mereka lakukan adalah dengan melakukan restrukturisasi keuangan, dengan memberikan talangan uang cash baik yang diambil dari kocek pribadinya maupun dengan cara menghutang, bahkan banyak di antara yang saya jumpai mereka menutup masalah keuangan dengan cara memakai uang rentenir yang berbunga tinggi.
Mereka memimpin dengan uangnya, sampai satu titik bisnis mereka benar-benar berhenti karena beban keuangan sudah sangat dalam sedangkan kinerja bisnisnya tidak pernah membaik seperti yang dibayangkan. Entrepreneur sukses memimpin perusahaan bukan dengan uangnya tetapi dengan waktunya!
Sebuah kontradiksi, para pemula menganggap bahwa uang adalah kunci sukses bisnis, kenyataannya uang justru bisa menjadi pembunuh bisnis, karena uang yang mudah membuat entrepreneur bodoh. Kalau kita lihat kisah sukses para pebisnis, sebagian besar diantara mereka justru memulai bisnis dengan serba kekurangan modal, inilah yang memaksa mereka selalu berfikir kreatif, karena tidak ada pilihan kecuali harus meningkatkan kinerja perusahaan untuk bertahan hidup dan berkembang.
Mereka memulai usaha dengan modal seadanya, mengumpulkan uang lewat bisnis kecil dan melangkah ke bisnis selanjutnya yang lebih besar. Sebenarnya apa yang mereka lakukan dalam dunia entrepreneurship disebut “Financial Bootsrapping”, meminimalisasi uang cash yang diperlukan ketika memulai sebuah bisnis.
Financial bootstrapping bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari cara mendapatkan barang dengan tempo pembayaran yang panjang, berbagi sarana bisnis dengan orang lain, penerapan inventory minimum, dan sebagainya. Banyak buku-buku yang memberikan inspirasi bagaimana anda memulai bisnis dengan modal yang sangat terbatas (mereka menyebutnya modal 0 atau modal dengkul), saya juga baru menyadari bahwa saya melakukan financial bootstrapping ketika memulai bisnis, barangkali itulah sebabnya saya ditulis sebagai salah seorang yang termasuk dalam buku 10 Pengusaha yang sukses membangun bisnis dari 0 terbitan Gramedia.
Cerita yang sangat menginspirasi datang dari Dell Computer yang memulai bisnis hanya dengan US 1.000 dolar, dan dalam beberapa tahun bisa membawa Dell Computer menjadi bisnis dengan skala ratusan juta dollar.
Pertanyaannya “Dapatkah anda memulai bisnis dengan uang cash sejuta sampai sepuluh juta rupiah saja?
0 komentar:
Posting Komentar