Selasa, 29 September 2015

Menjadi Bangsa Pintar, Meraih Kejayaan

Resensi Buku Menjadi Bangsa Pintar Karya Ir. H. Heppy Trenggono, M.Kom.
Oleh Zulkifli Al-Humami [Pecinta Buku dan Pemerhati Masalah Kebangsaan]
Indonesia harus menjadi bangsa pintar! Inilah kunci untuk meraih kembali kejayaan bangsa ini. “Petuah” ini termaktub dalam buku karya Heppy Trenggono, Presiden Direktur United Balimuda, sebagaimana tertera eksplisit sebagai judulnya, Menjadi Bangsa Pintar.
Dahulu di masa Kerajaan Majapahit Indonesia adalah bangsa besar dengan pengaruh ekonomi-politik yang luas dan kuat. Begitu digdaya Majapahit kala itu, kekuasaannya konon tak hanya mencakup kepulauan Nusantara, tapi juga menjangkau kawasan Filipina, Thailand, Myanmar, Singapura, dan Malaysia.
Belajar dari Bangsa Lain
Demi mengembalikan kejayaannya, Indonesia mesti becermin dan belajar dari bangsa lain. Mengapa bangsa tertentu dapat meraih kesuksesan dan mengapa bangsa lain mengalami keterpurukan?
Ternyata, kunci sukses suatu bangsa terletak terutama pada aspek kualitas dan mentalitas manusia-nya (SDM), dan bukan semata pada kekayaan alamnya (SDA). Bangsa bermentalitas unggul-lah yang sukses meraih kejayaan. Bangsa seperti ini perlu ditiru dan dijadikan teladan bagi Indonesia.
Heppy Trenggono memaparkan tipologi bangsa-bangsa di dunia ke dalam empat jenis. Pertama, bangsa terbelakang, yaitu bangsa yang hidup di negeri miskin SDA sementara mereka juga tidak memiliki mentalitas (SDM) unggul: etos kerja rendah, lemah semangat juang, minim penguasaan IPTEK, tidak terampil dan kreatif.
Karena rendah kualitas SDM sementara SDA negerinya terbatas, bangsa jenis ini selalu menggantungkan hidupnya pada bangsa lain. Tidak hanya dibelit masalah ekonomi, bangsa seperti ini sering pula didera kekacauan sosial: konflik antarsuku, agama, dan rasial. Kriminalitas yang tinggi juga menghiasi wajah negerinya yang sudah muram oleh kemiskinan.
Kedua, bangsa bodoh. Negerinya kaya SDA tetapi SDM bangsanya tak unggul. Kekayaan alam yang berlimpah ruah tidak menjadikan bangsa jenis ini dapat menuai kemakmuran dan kesejahteraan. Sebaliknya, minimnya penguasaan IPTEK, rendahnya etos kerja dan semangat juang, serta tipisnya kemandirian dan kepercayaan diri sebagai bangsa unggul menempatkan bangsa bodoh menjadi sasaran “jajahan” bangsa lain.
Apakah Indonesia tergolong bangsa bodoh?
Ketiga, bangsa pejuang. Termasuk bangsa jenis ini antara lain Jepang, Singapura, dan Swiss. Jepang adalah negeri dengan SDA terbatas. Sebagian besar wilayahnya merupakan pegunungan dan hanya sedikit lahan yang bisa ditanami tetumbuhan produktif. Selain itu, 64 tahun silam—bersamaan dengan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya—negeri ini juga sempat terpuruk akibat dibom atom oleh tentara Sekutu.
Namun, dengan semangat juang yang kuat, keterbatasan SDA dan kekalahan dalam Perang Dunia justru menjadi “titik balik” bagi bangsa Samurai untuk meraih kejayaannya. Dan kini, Jepang tampil sebagai raksasa ekonomi dunia di bidang otomotif dan elektronik. Adakah penentu lain kesuksesan itu di luar faktor kualitas dan mentalitas bangsanya?
Keempat, bangsa superstar, tak lain adalah bangsa yang bermentalitas (SDM) unggul sekaligus kaya SDA. Kekayaan alam dipadu penguasaan IPTEK yang sempurna serta etos kerja dan kepercayaan diri yang kuat menjadikan bangsa superstar tampil dominan di jagat internasional. Inilah bangsa avant garde yang memegang pengaruh besar di segala ranah kehidupan antar-bangsa. Negara-negara maju di belahan Amerika dan Eropa—seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Prancis, atau Inggris, juga China di Asia—termasuk bangsa superstar.
Prinsip Menjadi Bangsa Pintar
Kekayaan alam bumi Nusantara sangat potensial menjadikan Indonesia sebagai bangsa superstar. SDA yang berlimpah ini harus diimbangi dengan kualitas dan mentalitas SDM yang mumpuni: penguasaan IPTEK, pendidikan unggul, semangat juang dan etos kerja yang kuat, kreatifitas dan inovasi yang tak pernah mati, serta kemandirian dan kepercayaan sebagai bangsa besar yang sanggup mengelola hidupnya sendiri.
Buku ini mengelaborasi secara rinci kualitas dan mentalitas SDM tersebut ke dalam tiga belas prinsip kunci untuk menjadi bangsa pintar. Salah satu prinsip itu yakni prinsip sebagai bangsa pemain. Indonesia sebenarnya pernah menjadi bangsa pemain di jagat perpolitikan dan ekonomi internasional. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, di bawah komando Bung Karno, Indonesia menjadi pemain kunci dalam mobilisasi kekuatan negara Dunia Ketiga untuk menolak kolonialisme dan imperialisme.
Kepiawaian Indonesia sebagai bangsa pemain tecermin dari keterlibatannya sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955, juga kepeloporannya dalam pembentukan Gerakan Non Blok (GNB)—varian politik independen dari dua blok mainstream: Blok Kapitalis dan Blok Komunis. Atas peran kunci Indonesia di ajang KAA, bangsa Afrika menghargai Indonesia dengan mencantumkan “Soekarno” dan “Bandung” sebagai nama jalan di Maroko.
Percaya pada kebaikan juga prinsip bangsa pintar. Mengapa Indonesia begitu mudah terpuruk oleh krisis moneter 1997? Jawabnya, sebab bangsa Indonesia (rezim Orde Baru) membangun negeri ini di atas fondasi keburukan: praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta pengekangan kebebasan dan perampasan hak rakyat.
Kebijakan dan birokrasi yang tak adil, tak jujur, dan tak amanah mengakibatkan pembangunanisme mengidap penyakit kronis. Tak heran bila pembangunanisme ala Orde Baru yang bersandar pada keburukan akhirnya terperosok ke jurang kehancuran.
Buku ini menyuguhkan kunci-kunci sederhana untuk kebangkitan kembali Indonesia meraih kejayaannya. Tiga belas prinsip menjadi bangsa pintar yang tercakup di dalamnya merupakan kiat-kiat sederhana namun kerapkali luput dan terabaikan oleh pikiran segenap anak bangsa. Jadi, untuk kebangkitan dan kejayaan Indonesia, buku ini menawarkan banyak inspirasi. Patut dibaca demi masa depan Indonesia!

0 komentar:

Posting Komentar